Walau Indonesia Dikenai Tarif 19% oleh Amerika Serikat, Tarif impor Baja Merah Putih ke Negeri Paman Sam Bisa Tembus 50%

by -14 Views
banner 468x60

Jakarta, 11 Agustus 2025 – Harapan pelaku industri baja Indonesia untuk menikmati tarif masuk preferensial 19% ke pasar Amerika Serikat (AS) harus terkubur dalam-dalam. Kenyataannya, produk baja nasional justru dihadapkan pada tarif lebih dari 50% akibat kebijakan proteksionis Washington. Kondisi ini tidak hanya membatasi akses ekspor, tetapi juga memicu ancaman serius bagi pasar domestik.

Kesepakatan
dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 22 Juli 2025,
yang seolah menjanjikan tarif 19% melalui Executive Order (EO) 14257,
ternyata tidak berlaku untuk sektor baja. Dokumen kebijakan tersebut secara
eksplisit mengecualikan produk baja dan aluminium, yang tetap tunduk pada rezim
tarif khusus Section 232.

banner 336x280

Berdasarkan
ketentuan Section 232, seluruh produk baja Indonesia tanpa terkecuali
dikenai tarif dasar sebesar 50%. “Ini adalah realita yang harus kita
hadapi. Angka 19% itu tidak berlaku untuk baja,” ungkap Widodo
Setiadharmaji, pemerhati industri baja dan pertambangan.

Beban
biaya itu, tekan Widodo Setiadharmaji, bahkan menjadi lebih besar untuk
produk-produk strategis. Misalkan, untuk baja canai panas (HRC), pelat, baja
tulangan, dan PC Strand, tarif efektifnya bisa meroket hingga 108%–122%.
Angka fantastis ini merupakan akumulasi dari tarif dasar 50% ditambah dengan
bea antidumping (AD) dan bea imbalan (CVD) yang mencapai 58–72%.

Meskipun
begitu, ungkap Widodo Setiadharmaji, secercah peluang tetap ada. Produk baja
lapis (coated steel), stainless steel, dan alloy tertentu yang
tidak dikenai trade remedies tambahan, tarifnya “hanya”
berkisar 50–55%.

Peluang di
Tengah Tekanan

Walaupun
tertekan tarif tinggi, pasar AS yang premium tetap menjadi magnet. Harga HRC di
pasar Midwest AS yang sempat menyentuh lebih dari US$900
per short-ton (sekitar Rp14,7 juta per short-ton) jauh melampaui
harga baja di pasar global lainnya. Selisih harga yang signifikan ini membuat
pasar AS tetap menarik, bahkan jika baja produk Indonesia dikenai tarif 50%.

“Peluang
ekspor masih terbuka, terutama untuk jenis produk yang tidak terkena bea masuk
tambahan,” ujar Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Akbar
Djohan.

PT
Krakatau Steel melalui PT Krakatau Baja Industri dan PT Tata Metal Lestari baru-baru
ini kembali melakukan ekspor baja seberat 10.000 ton ke Amerika Serikat. Kegiatan
ekspor ini merupakan lanjutan program ekspor sebelumnya yang mengapalkan 2.400
ton baja ke Polandia.

Akbar
Djohan menegaskan sejak Maret 2025 hingga sekarang perseroan, selain melakukan
ekspor ke Amerika Serikat dan Polandia, PT Krakatau Steel juga melakukan
berbagai kesepakatan kerja sama dan aksi korporasi untuk meningkatkan
penjualan. Manajemen perusahaan juga terus berbenah dan konsisten melakukan
transformasi maupun restrukturisasi guna melewati berbagai tantangan ekonomi.

Seperti
kata Widodo Setiadharmaji, dampak dari kebijakan tarif impor AS dan proteksi
terhadap baja impor berpotensi merugikan industri baja Indonesia. Kebijakan
tersebut bisa memaksa negara-negara produsen baja global untuk mengalihkan
tujuan ekspor mereka dari AS ke pasar lain yang lebih terbuka, termasuk
Indonesia. Potensi banjir produk impor ini dapat menciptakan kelebihan pasokan
di pasar lokal, yang ujung-ujungnya memicu perang harga tidak sehat.

“Produsen
dalam negeri sangat berisiko tertekan, bahkan bisa terpaksa menjual produk di
bawah biaya produksi jika tidak ada kebijakan perlindungan yang memadai,” jelas
Widodo Setiadharmaji.

Menghadapi
situasi ini, Widodo Setiadharmaji mendesak pemerintah dan pelaku industri untuk
mengambil langkah-langkah strategis dan terkoordinasi. Ia mengusulkan tiga
langkah utama, yaitu:

·        
Pertama, memperkuat benteng pertahanan pasar
domestik menjadi sebuah keharusan. Penggunaan instrumen safeguard,
antidumping, dan bea imbalan perlu dioptimalkan untuk melindungi industri
nasional dari gelombang impor.

·        
Kedua, diversifikasi pasar ekspor ke kawasan
non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan menjadi kunci
untuk menjaga volume ekspor di tengah ketatnya persaingan.

·        
Ketiga, upaya negosiasi diplomatik untuk mendapatkan
kuota tarif khusus dari AS, seperti yang berhasil diperoleh Jepang dan Korea
Selatan, perlu terus diperjuangkan. Melalui skema ini, sejumlah volume ekspor
baja Indonesia bisa masuk ke pasar AS dengan tarif yang lebih ringan. (***)

banner 336x280

Artikel ini juga tayang di VRITIMES

No More Posts Available.

No more pages to load.