Sepekan Usai Gencatan Senjata: Iran Ajarkan Dunia Bagaimana Hancurkan Kesombongan Israel

by -3 Views
banner 468x60

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Sepekan sudah Iran dan Israel sepakat mengumumkan gencatan senjata pada 24 Juni 2025. Tak ada lagi kabar Negeri Zionis dan Iran saling berkirim bom serta rudal. Baik Iran maupun Israel menyatakan diri sebagai pihak yang memenangkan perang yang berlangsung 12 hari itu.

banner 336x280

Klaim kemenangan itu bukan saja merupakan upaya kedua negara dalam mengonsolidasi kekuasaan rezim mereka, tapi juga menunjukkan atmosfer perang masih sangat tebal menyelimuti kedua negara. Mungkin memang benar perang itu telah menunjukkan superioritas militer Israel, yang bebas berkeliaran di wilayah udara Iran dan sukses besar dalam penetrasi intelijen mereka.

Israel sampai menyamakan “sukses” dalam Perang 12 Hari melawan Iran, lebih besar dari pada Perang Enam Hari melawan koalisi Arab pada 1967. Tapi Israel kini tak bisa lagi menganggap kecil kemampuan lawan dalam membalas dan menangkal serangan mereka.

Bagaimana tidak, sejak negara itu berdiri di atas nestapa Palestina pada 1948, untuk pertama kalinya kota-kota besar Israel dihujani rudal oleh musuhnya. Rudal-rudal Iran itu menghancurkan dan bahkan merobohkan beberapa gedung, selain menewaskan 29 orang, membuat 10 ribuan orang kehilangan tempat tinggal, dan sempat menghentikan roda perekonomian.

Jumlah korban itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan 1.195 orang, termasuk 379 tentara Israel, yang menjadi korban serangan Hamas pada 7 Oktober. Namun, Perang 12 Hari telah mengikis rasa aman yang sejak lama dinikmati Israel. Jutaan rakyat negara itu kini merasa negaranya tak lagi kebal dari serangan luar.

Iran telah menunjukkan kepada Israel bahwa walaupun dilindungi sistem pertahanan yang canggih, termasuk sistem pencegat rudal Iron Dome, pertahanan Israel ternyata rapuh. Akibatnya, beberapa sudut di kota Tel Aviv, Bat Yam, dan Be’er Sheva, terlihat menyerupai Gaza yang sudah luluh lantak oleh bombardemen brutal nan berkepanjangan dari Israel.

Praktisnya, Israel tak bisa tenang seperti dulu. Mereka kini mendapati musuh yang mampu menyerang jauh ke jantung pertahanannya, yang membuat keyakinan rakyat negara itu terhadap sistem keamanannya menjadi tidak setinggi sebelum perang.

Israel, menurut Meron Rapoport, analis Israel dalam tulisannya pada +972 Magazine, bahkan gagal mewujudkan tiga tujuan utamanya kala menyerang Iran. Ketiga tujuan yang pernah diutarakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu beberapa saat setelah menyerang Iran pada 13 Juni itu adalah (1) melucuti program nuklir Iran, (2) memupus kemampuan serangan rudal balistik Iran, dan (3) memutuskan hubungan Iran dengan proksi-proksinya.

Menteri Pertahanan Israel Katz bahkan menambahkan satu tujuan lagi, yakni membunuh Pemimpin Spiritual Ayatullah Ali Khamenei guna memicu pergantian rezim di Iran. Ternyata, menurut Rapoport, tujuan-tujuan itu tak tercapai, termasuk program nuklir Iran karena sampai kini tak ada informasi yang valid bahwa bombardemen AS ke fasilitas nuklir Isfahan, Natanz dan khususnya Fodrow, telah total melumpuhkan kemampuan Iran dalam mengembangkan nuklir.

Yang terjadi kemudian, Iran malah semakin keras kepala. Mereka menyatakan tak akan terburu-buru kembali ke meja perundingan, apalagi merasa dikhianati AS yang membiarkan Israel menyerang justru ketika Iran sedang berunding diam-diam dengan AS.

Sejak hari pertama perang, Iran telah menegaskan tak akan berunding di bawah todongan senapan. Sebaliknya, Netanyahu ingin terus menyerang Iran, dengan keyakinan bahwa metode ini akan sama efektifnya dengan mereka melumpuhkan Hamas.

Netanyahu salah perhitungan karena Iran melawan dengan kemampuan yang melebihi ekspektasi Israel. Iran bahkan memanfaatkan medan perang untuk ajang pembuktian keandalan rudal dan pesawat nirawak buatannya, sekaligus kemampuan berperang siber.

Rudal hipersonik yang mulus melewati pertahanan Israel menunjukkan Iran tak hanya sukses melakukan inovasi taktis, tapi juga memamerkan kematangan berstrategi. Doktrin militer Iran telah berkembang jauh sampai bisa mengantisipasi peperangan multidomain.

Iran juga tahu betul harus melancarkan perang urat syaraf. Untuk pertama kalinya sebuah negara Timur Tengah mencampakkan “tabu kawasan” bahwa jangan pernah menyerang langsung Israel.


Iran melanggar tabu itu dengan serangan-serangannya yang berkelanjutan dan dengan presisi tinggi. Tapi ini membuat Israel dihadapkan pada realitas baru bahwa Iran kini tak lagi memanfaatkan proksi-proksinya untuk menyerang Israel.

Iran juga semakin yakin deterensi sejati yang membuat lawan segan menyerang, membutuhkan dua pilar utama, yakni penguasaan senjata nuklir dan hubungan strategis yang lebih dalam dengan China dan Rusia. Deterensi adalah upaya mencegah lawan melakukan tindakan tidak diinginkan atau merugikan dengan membuat lawan takut menghadapi aksi balasan.

Untuk itu, alih-alih mengerem ambisi nuklirnya, Perang 12 Hari malah mendorong Iran mempercepat program nuklirnya. Namun itu tak akan dilakukan tanpa payung keamanan dari negara-negara besar. Di sini, Iran akan makin dalam beraliansi dengan China dan Rusia, bukan cuma demi mencegah serangan dari luar, tapi juga melepaskan diri dari isolasi internasional.

Israel, di sisi lain, tak akan pernah jera melancarkan apa yang disebutnya “serangan pencegahan” terhadap fasilitas-fasilitas keamanan dan nuklir Iran, serta struktur kepemimpinan Iran, yang mendorong negaranya ngotot merangkul senjata nuklir. Karena itu gencatan senjata tempo hari yang memang tak memasukkan syarat apa-apa, menjadi terlihat rapuh karena setiap waktu bisa dilanggar oleh pihak-pihak yang berperang.

Tapi bisa juga tidak dilanggar, jika Israel dan Iran merasa memiliki kemampuan deterensi yang kuat dan seimbang. Jika ini yang terjadi, perang antara kedua negara tak lagi meletus, setidaknya dalam waktu dekat.

sumber : Antara

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.