Musik Idealnya Diperhitungkan Sebagai Elemen Biaya dalam Bisnis

by -4 Views
banner 468x60

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gumanti Awaliyah, Mg161

banner 336x280

Kehidupan di kafe di zaman now tidak terbatas hanya untuk makan dan minum. Kini ke kafe sudah menjadi keseharian hidup anak muda.



Banyak dari mereka datang ke kafe bukan cuma untuk nongkrong, tapi juga untuk bersantai, mencari inspirasi, bahkan mengerjakan tugas kuliah. Lia (21 tahun), seorang mahasiswa, mengaku cukup sering datang ke kafe untuk mengerjakan tugas. “Biasanya sering ke kafe untuk mengerjakan tugas, sih,” ujarnya.

Lia akan memilih kafe yang tidak terlalu ramai atau berisik. “Prefer yang nggak ada lagu sih, kalau ada juga yang nggak terlalu kencang suaranya,” lanjutnya. Tapi ia akan merasa aneh juga jika kafe yang disambanginya terlalu hening alias tanpa musik.

Nada (21 tahun) yang juga mahasiswa melihat musik di kafe justru bisa menjadi cara untuk mendukung musisi lokal. “Dengan adanya lagu di kafe itu seharusnya bisa menjadi wadah bagi para artis atau musisi untuk mempromosikan lagu karya mereka secara tidak langsung,” ujarnya.

Terkait polemik pembayaran royalti music di kafe, ia mengaku tidak masalah juga jika tidak ada lagu di kafe. “Sebagai pelanggan sih aku nggak masalah kalau nggak ada lagu, karena biasanya juga nggak terlalu familiar dengan lagu yang diputar,” katanya.

Grup musik asal Yogyakarta, Shaggydog, mengemukakan upaya pemerintah mewajibkan pelaku usaha komersial, seperti kafe dan restoran, mengurus lisensi pemutaran musik sebagai langkah yang ideal. Hal tersebut telah diterapkan di sejumlah negara.

Perwakilan Manajemen Shaggydog Martinus Indra Hermawan saat dihubungi, Senin (4/8/2025), menyebut upaya itu penting demi keadilan bagi para pencipta lagu di Tanah Air. “Kalau mau fair seperti yang sudah diterapkan di luar negeri, memang idealnya usaha bisnis itu mengurus lisensi dulu untuk pemutaran lagu dengan tujuan komersial,” ujar Martinus.

Meski demikian, ia menyadari masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya lisensi pemutaran musik sebab sosialisasi dari pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum merata. “Untuk urusan performing right ini, masyarakat awam masih banyak yang belum melek, sementara di sisi lain sosialisasinya juga belum merata,” ucapnya, dikutip dari Antara.

Martinus berujar sejumlah anggota Shaggydog sebelumnya telah mendaftarkan karyanya ke LMK WAMI (Wahana Musik Indonesia). Prosesnya disebut mudah dan gratis dengan cukup menyiapkan dokumen, mengisi formulir, dan menunggu verifikasi sekitar dua minggu. Setelah disetujui, anggota akan mendapat kartu resmi.

Ia mengatakan regulasi itu pada dasarnya bisa memberi manfaat nyata bagi musisi, terutama dalam menjamin hak atas karya yang digunakan secara komersial. Namun, karena baru mendaftar, ia mengaku belum menerima laporan atau pembayaran royalti.

Meski begitu, ia berharap sistem tersebut bisa memberi manfaat konkret jika dijalankan dengan transparan dan inklusif. Martinus juga menilai musisi lokal di Yogyakarta belum semuanya memiliki akses dan informasi memadai soal perlindungan hak cipta dan sistem royalti.

“Harapan kami, semoga sosialisasi kepada masyarakat awam tentang hal ini lebih merata lagi, mempermudah serta mempercepat proses untuk pendaftaran, juga distribusi pembagian royaltinya kepada band dan songwriter supaya lebih mudah dipahami dan transparan,” tutur Martinus.

Musik Idealnya…

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.