
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan menteri perdagangan Tom Lembong oleh Presiden Prabowo Subianto terus menuai perhatian publik. Salah satu yang bersuara adalah pakar hukum tata negara, Prof Mahfud MD.
Dalam kesempatan wawancara bersama Republika, Mahfud mengaku mendapatkan banyak pertanyaan terkait alasan dibalik keputusan yang membedakan status keduanya. Mengingat baik Hasto maupun Tom sama-sama dijerat kasus korupsi dan berada dalam tahapan hukum yang serupa yakni divonis dan sedang mengajukan banding.
“Dalam kasus Tom Lembong dan Hasto ini memang masih timbul pertanyaan teoritis dan yuridis. Ini kan sama ya, kasusnya korupsi, dakwaannya korupsi. Yang satu sudah divonis akan naik banding, yang satu juga divonis akan naik banding,” ujar Mahfud saat ditemui Republika di kediamannya di Yogyakarta, Jumat (1/8/2025) malam.
Terkait hal ini, Mahfud mengaku belum mengetahui alasan konkret mengapa Tom mendapat abolisi dan Hasto justru amnesti. “Kita juga masih menunggu penjelasannya. Saya tidak tahu, kalau bertanya ke saya itu apa ya kok dibedakan. Nanti pemerintah akan menjelaskan di dalam konsideran-konsideran presiden,” ucapnya.
Ia hanya menjelaskan, jika secara teori, amnesti diberikan kepada kelompok kolektif, sementara abolisi lebih bersifat individual. Mahfud kemudian membandingkan hal ini dengan praktik pemberian amnesti saat pandemi Covid-19, di mana ribuan orang yang kesalahannya ringan diberikan pengampunan.
“Kalau teorinya kan jelas, kalau amnesti untuk kolektif, sekelompok orang. Seperti Hasto ini, itu sudah kolektif. Abolisi untuk personal, untuk Lembong. Tetapi mengapa Hasto dimasukkan ke kolektif sedangkan Lembong dimasukkan personal? Kan ini sama nih, sama-sama perorangan. Nah itu yang belum jelas,” ungkapnya.
“Tetapi pemberian abolisi ini baru saya ditemukan di Tom Lembong. Waktu saya di zaman pemerintahan itu, amnesti diberikan secara besar-besaran itu karena ada Covid. Kalau orangnya tidak dipisahkan, Covid bisa merajalela di penjara, maka diseleksi lagi. Orang yang kesalahannya ringan diberikan amnesti. Puluhan ribu waktu itu,” kata Mahfud.
Meski demikian, Mahfud menegaskan kewenangan presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi diatur dalam konstitusi. Menurut dia tidak ada masalah dengan pemberian abolisi dan amnesti terhadap dua tokoh publik tersebut.
“Tidak ada masalah karena konstitusi memang memberikan hak dan wewenang kepada Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Itu adalah semacam kebijakan khusus bagi Presiden untuk memberikan perubahan akibat dari sebuah proses peradilan,” ujarnya.