
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Jogja International Art Fair (JIAF) dengan tema ‘Connecting Artists, Collectors, and Culture’ akan digelar di Jogja Expo Center (JEC) pada Desember 2025 hingga 2 Januari 2026 mendatang. Pameran seni berskala internasional ini menjadi ajang perdana yang menghadirkan kolaborasi antara seniman, kolektor, dan pelaku budaya dalam satu ruang kreatif.
JIAF 2025 hadir dengan misi besar untuk membuka akses pasar seni rupa yang lebih inklusif dan berdaya saing global. Ajang seni rupa ini menargetkan kunjungan lebih dari 10 ribu pengunjung setiap harinya. Pameran akan menampilkan karya lebih dari 2.000 seniman, yang mencangkup seniman, kolektor, hingga kurator dari berbagai daerah dan negara.
Untuk mewujudkan misi tersebut, pihak penyelenggara pun menekankan pentingnya keterbukaan akses bagi para seniman. Direktur NR Management selaku penyelenggara JIAF 2025, Novita Riatno, menyampaikan harapannya agar penyelenggaraan JIAF dapat menjadi solusi atas berbagai tantangan yang selama ini dihadapi para seniman di Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa selama ini banyak ajang maupun galeri bersifat eksklusif, sehingga tidak semua seniman memiliki kesempatan yang sama untuk tampil dan dikenal publik.
“Kami bangga menggunakan kata ‘Jogja’ dalam nama acara ini, karena Jogja adalah rumah bagi ratusan seniman aktif dan kami ingin membuka ruang yang selama ini terlalu eksklusif,” ujarnya, Kamis (16/10/2025).
Nadiyah Tunikmah, selaku kurator JIAF 2025, mengatakan bahwa penyelenggaraan JIAF tidak hanya ditujukan bagi seniman asal Yogyakarta, tetapi juga terbuka untuk para perupa dari berbagai daerah di Indonesia. Ia menilai bahwa sebagai kota yang dikenal sebagai ibu kota seni rupa nasional, Yogyakarta perlu menjadi ruang yang inklusif dan mampu menjembatani kolaborasi lintas daerah.
“Walaupun namanya Jogja International Art Fair, ini tidak hanya sekedar untuk Jogja atau pesertanya dari Jogja, tapi kami juga menyadari Jogja itu sebagai tempat yang dianggap ibu kota seni rupa Indonesia seharusnya juga menjadi lebih cair, membuka diri untuk teman-teman dari daerah lain, tidak membuat daerah lain menjadi berjarak dengan kita,” ujar Nadiyah.
Art Director JIAF 2025, Samuel Indratma, menjelaskan bahwa penyelenggaraan JIAF di JEC menawarkan konsep ruang pamer yang menarik dengan tiga hall utama yang berada di satu lantai. Menurutnya, tata letak ini dirancang agar pengunjung dapat menikmati pameran dengan nyaman tanpa merasa lelah atau bosan.
Salah satu pembeda utama JIAF 2025 dengan pameran seni lain di Indonesia adalah penerapan model artist-direct yang diterapkan JIAF memberikan kesempatan bagi para seniman untuk berpartisipasi secara mandiri tanpa harus diwakili oleh galeri, berbeda dengan konsep art fair konvensional di Indonesia. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi ruang inklusif bagi seniman pemula, seniman transisi, hingga yang sudah mapan untuk saling belajar, berkolaborasi, dan memperkuat ekosistem seni rupa nasional.
“Dari event Art Fair dan JEC yang dijadikan tempat, saya pikir ini sangat menarik. Ada tiga hall yang menarik, tiga hall ini satu lantai agar orang tidak kecapean, tidak bosan,” ucapnya.
Tasbir Abdullah, selaku penasihat JIAF 2025, memberikan apresiasi terhadap keberanian penyelenggara dalam menggunakan kata “internasional” pada nama acara tersebut. Menurutnya, langkah ini menunjukkan semangat besar untuk membawa Yogyakarta ke ajang seni global.
Ia menambahkan bahwa, strategi untuk melibatkan partisipan asing telah dipersiapkan dengan matang, mulai dari kolaborasi bersama komunitas seni luar negeri hingga menghadirkan karya yang mewakili identitas masing-masing negara.
“Saya sudah 15 tahun di bidang pariwisata, dan ini langkah penting, kita pernah punya Jogja International Heritage Walk, dan sekarang JIAF adalah kelanjutannya,” ujarnya.
Dengan hadirnya JIAF 2025, diharapkan ajang ini dapat mengisi kekosongan kegiatan seni rupa di Yogyakarta sekaligus menghadirkan model baru yang lebih inklusif. Melalui penyelenggaraan ini, JIAF membuka akses langsung bagi para seniman untuk memperkenalkan karya mereka kepada publik, membangun pasar baru bagi kolektor muda maupun internasional, serta memperkuat posisi Yogyakarta sebagai pusat atau hub seni rupa di kawasan Asia Tenggara.