
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Jambore Puskesmas Nasional (Jampusnas) II Apkesmi 2025 yang digelar di Yogyakarta sejak 30 Oktober–2 November 2025, tidak hanya menjadi ajang silaturahim bagi 669 peserta dari seluruh Indonesia, tetapi juga menjadi momen penting untuk berbagi praktik baik, sekaligus membuka diskusi tentang tantangan nyata yang dihadapi layanan kesehatan primer di Indonesia, termasuk keterbatasan tenaga kesehatan, kesiapan menghadapi masalah kesehatan mendadak hingga kesejahteraan tenaga kesehatan yang masih rendah.
“Kita itu punya sekitar 10.400 Puskemas di seluruh Indonesia, terkait dengan tenaga dokter memang belum semuanya terisi. Karena ada yang memasuki purnatugas atau pensiun. Yang kedua ini rekrutmen baru. Untuk rekrutmen ini dikembalikan lagi kepada Bupati/Walikota, kesanggupan menyiapkan anggaran,” kata Ketua Jampusnas II, dr Asep Sani Sulaeman, Ahad (2/11/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Asep tak menepis bahwa masalah mendasar yang dihadapi Puskesmas saat ini terkait keberadaan tenaga medis. Meski kebutuhan tenaga dokter mendesak, proses rekrutmen sering terbentur regulasi dan kemampuan anggaran pemerintah daerah.
Kondisi ini memunculkan konsekuensi serius dimana banyak Puskesmas kehilangan dokter karena pensiun atau dokter yang melanjutkan pendidikan spesialis kembali ke rumah sakit daerah (RSUD), namun di sisi lain, kemampuan anggaran pemerintah daerah juga terbatas apalagi pasca adanya efisiensi dari pemerintah pusat.
Tentu saja, situasi ini menjadi perhatian serius karena langsung memengaruhi akses layanan kesehatan bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil. Meski transformasi Puskesmas dan inovasi layanan menjadi prioritas, tantangan mendasar seperti regenerasi tenaga, anggaran, dan kesejahteraan nakes tetap menjadi hambatan yang harus segera diatasi. Jambore Puskesmas Nasional II di Yogyakarta ini didorong tidak hanya menjadi ajang edukasi dan berbagi pengalaman, tetapi juga menjadi panggung bagi para pemangku kepentingan untuk menyuarakan solusi strategis.
“Kalaupun mengusulkan silakan, pak Bupati atau Walikota sanggup tidak untuk mengalokasikan gaji. Sedangkan kita tahu bahwa alokasi belanja pegawai pemda, mayoritas di Indonesia, dari 540 kabupaten/kota, pagunya di atas 30 persen. Padahal menurut UU 1 tahun 2024, hubungan keuangan pusat dan daerah ada pasal yang menyebutkan maksimal 30 persen belanja pegawai. Sehingga sekarang dengan adanya efisiensi, tunjangan daerah diturunkan atau dipotong,” ungkapnya.
Ia menekankan pula keterbatasan sistem bahwa pegawai Puskesmas adalah pegawai daerah, bukan pusat, sehingga tidak bisa dipindahtugaskan.
“Karena ini pegawai pemda, tidak bisa dipindahkan. Sekarang sudah per daerah. Kalau kekurangan, alokasinya harus mengusulkan untuk ada formasi pengangkatan. Tapi itu tadi, kalau diangkat ada tidak alokasinya. Ini jadi tantangan besar,” ujarnya.
Lebih jauh, Asep menyampaikan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan insan kesehatan untuk memastikan keberlangsungan layanan primer.
“Kita ingin Puskesmas bertransformasi, namun tanpa regenerasi dan dukungan anggaran serta kesejahteraan yang layak, tantangan ini akan terus mengganjal,” katanya.
Selain masalah kuantitas tenaga medis, kualitas dan kesejahteraan juga menjadi perhatian serius. Ketua Umum DPP Apkesmi, Kusnadi, menekankan bahwa rendahnya take home pay menjadi faktor yang membuat Puskesmas sulit menarik dokter dan perawat, terutama ke wilayah terpencil.
“Daerah-daerah itu tidak seksi untuk teman-teman nakes, apalagi dokter. Secara umum, tingkat kesejahteraan di Puskesmas di bawah nakes di rumah sakit. Bahkan saya khawatir, ke depan Puskesmas tidak menjadi salah satu destinasi nakes untuk bekerja,” katanya.
Ia menyoroti perbedaan dramatis antara pendapatan kepala Puskesmas di Jakarta, yang bisa mencapai Rp 40 juta, dengan tenaga kesehatan di daerah terpencil yang hanya menerima Rp 150 ribu dari jasa pelayanan PLUD. Kusnadi tak menepis banyak tenaga kesehatan yang akhirnya lebih memilih bekerja di rumah sakit swasta atau praktik mandiri, karena pendapatannya jauh lebih tinggi dibandingkan bekerja di Puskesmas.
“Sekali lagi, kenapa Puskesmas susah mendapatkan tenaga adalah dari tingkat kesejahteraan. Nakes kita banyak kok, kalau kita berpikir kita kekurangan tenaga itu tidak, banyak. Tapi mereka lebih memilih bekerja mandiri atau di rumah sakit swasta,” ucap dia.













