Dinas Pariwisata Yogyakarta Diminta Hidupkan Narasi Sumbu Filosofi di Malioboro

by -17 Views
banner 468x60

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Yogyakarta selalu menjadi tujuan favorit wisatawan termasuk di momen libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026. Malioboro sebagai ikon kota, menjadi salah satu destinasi yang tidak pernah dilewatkan untuk dikunjungi. Bahkan beberapa waktu terakhir, kawasan tersebut sudah mulai dipadati wisatawan dari berbagai daerah.

banner 336x280

Namun di balik keramaian, sebagian besar wisatawan hanya menjadikan Malioboro sebagai lokasi swafoto tanpa menyadari filosofi yang tersimpan di kawasan ini. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD DIY, RB Dwi Wahyu yang menekankan bahwa fenomena ini perlu menjadi perhatian serius Dinas Pariwisata untuk menghadirkan wisata yang lebih bermakna dan berdampak pada ekonomi lokal.



Nilai sejarah dan filosofi Malioboro sebagai Sumbu Filosofi, menurutnya, belum tersampaikan dengan baik kepada wisatawan. Banyak yang hanya melihat Malioboro sebagai jalan untuk belanja dan berswafoto. Padahal, Sumbu Filosofi bukan sekadar istilah, melainkan gambaran perjalanan hidup manusia yang terwujud dalam tata ruang Yogyakarta. Lebih jauh, Sumbu Filosofi juga memuat pesan mitigasi bencana dan harmoni kehidupan, yang relevan dengan kondisi geografis Yogyakarta.

“Hari ini Malioboro sebagai sumbu filosofi tapi tidak pernah tersosialisasikan di wisata, Sumbu Filosofis itu apa. Narasinya belum tergarap dengan baik, kalaupun ada event, tidak bercerita tentang itu,” katanya saat dihubungi Republika, Senin (22/12/2025).

“Kita ini selalu berteriak tentang Sumbu Filosofi, tapi wisatawan tidak tahu. Jangan sampai Sumbu Filosofi itu hanya dimaknai Malioboro begitu saja, tetapi tidak pernah bercerita mengapa di Malioboro,” ucapnya menambahkan.

Ia menegaskan filosofi Malioboro tidak boleh berhenti sebagai istilah saja, tapi harus menjadi bagian dari pengalaman wisata termasuk di momen Nataru. Banyaknya wisatawan yang datang ke Jogja harus disuguhkan dengan narasi wisata sejarah, agar tetap lestari dan ke depan mampu dikemas jadi paket wisata yang berkualitas.

Dalam hal ini, Dwi menyoroti peran Dinas Pariwisata sebagai agen yang harus mampu mengemas Malioboro dan Sumbu Filosofi sebagai “rumah” wisata yang menarik, kolaboratif, dan bernarasi.

“Dinas pariwisata sebagai agen. Dia harus menyajikan menu-menu pariwisata itu ibaratnya rumah. kalau rumah ini bisa dikunjungi oleh wisata dan menarik, maka salah satunya ada Malioboro, ada sumbu filosofi, ada museum dan di sekitarnya harus dinarasikan,” ungkapnya.

Kolaborasi lintas OPD dan Keraton sangat diperlukan untuk memaksimalkan potensi Sumbu Filosofi sebagai daya tarik edukatif. Tanpa narasi yang kuat, Dwi khawatir Malioboro hanya tetap menjadi tempat selfie, tanpa meninggalkan pengalaman dan kesan mendalam bagi wisatawan.

“Kalau pariwisata itu tidak pernah disajikan dengan narasi yang menarik, makanya Malioboro hanya tempat untuk selfie, habis itu pergi, tidak menikmati dan meninggalkan residu,” ujarnya.

Hidupkan Aktivitas Ekonomi

Kolaborasi ini pada akhirnya bermuara pada tujuan bersama yaitu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pemberdayaan masyarakat. Dwi menilai orientasi pariwisata seharusnya tidak berhenti pada keramaian semata. Target utama pariwisata adalah transaksi yang mencerminkan kualitas wisata itu sendiri.

Dwi juga mengingatkan agar Jogja tidak hanya mempersembahkan Malioboro sebagai ikon tunggal. Selama ini, ia mengamati aktivitas wisatawan yang datang ke kawasan tersebut rata-rata hanya berfokus pada swafoto tanpa transaksi, justru minim dampak ekonomi bagi UMKM dan masyarakat lokal.

“Sekali lagi, semua ini goal-nya adalah PAD. Maka bagaimana usaha kita wisawatawan yang datang ke Jogja disuguhkan wisata yang berkualitas. Artinya apa? Wisata yang bertransaksi. Apa artinya wisata datang di Jogja Begitu membludak, kalau tanpa ada transaksi, tanpa ada pemberdayaan masyarakat, tanpa pemberdayaan UMKM,” ucapnya.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.