
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Pascatragedi ambruknya bangunan mushala Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur akhir September 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan fakta mengejutkan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyebut hanya sekitar 5 persen bangunan sekolah yang masuk kategori Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dari total hampir 500 ribu bangunan pendidikan di Indonesia.
Fakta ini pun menimbulkan keprihatinan terkait masih rendahnya tingkat keamanan bangunan sekolah terhadap ancaman bencana di Indonesia. Muhari menyebut tragedi itu sebagai bukti nyata lemahnya kualitas infrastruktur pendidikan yang berpotensi menelan korban, bahkan tanpa adanya bencana alam.
Tragedi di Ponpes Al Khoziny seharusnya menjadi momentum penting untuk mengoreksi kualitas struktur bangunan pendidikan di Indonesia, terlebih di daerah rawan bencana. “Jumlah total sekolah mulai dari SD hingga SMA itu ada 500 ribu dengan status Satuan Pendidikan Aman Bencana itu ada 25 ribu, lebih kurang lima persen dari total keseluruhan sekolah, 5 persen, sedikit sekali,” ujar Abdul Muhari, dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube BNPB, Senin (13/10/2025).
“Peristiwa kemarin itu (ambruknya Ponpes Al Khoziny -red) bukan bencana namun kegagalan tekhnologi dan struktur,” katanya menambahkan.
Abdul menyampaikan ribuan sekolah itu berada di wilayah rawan bencana, terutama di Pulau Jawa. Berdasarkan data BNPB, Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah sekolah terbanyak di zona rawan bencana, yakni 1.890 bangunan, disusul Jawa Tengah sebanyak 1.833 bangunan dan Jawa Barat 1.529 bangunan.
Karenanya, BNPB mendorong pemerintah untuk segera merumuskan regulasi nasional terkait bangunan aman bencana, khususnya di sektor pendidikan. Menurut Muhari, audit struktural terhadap sekolah harus menjadi langkah prioritas, agar fasilitas pendidikan benar-benar menjadi tempat berlindung saat bencana datang, bukan justru menjadi ancaman.
“Apa pun itu bisa gempa, longsor, banjir bandang, dan seterusnya dan tentu saja ini yang harus benar-benar diaudit kelayakannya,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menekankan pemerintah perlu menyediakan anggaran lintas tahun untuk menjamin proses penguatan bangunan berjalan optimal. Abdul mengatakan pihaknya telah memiliki kerangka kerja, regulasi, hingga pedoman teknis untuk pembangunan fasilitas pendidikan yang tahan bencana. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala, terutama terkait anggaran dan SDM teknis di daerah.
“Juga dibutuhkan payung regulasi untuk project dengan kebutuhan financial besar dan lintas tahun dan harus menjamin proses bisa berjalan,” ucap dia.
“Sekolah kita atau luasan daerah kita mungkin 10 kali Jepang. Jadi untuk bisa melakukan audit dan seterusnya ini yang akan menjadi perhatian dan tentu saja ketersediaan anggaran yang cukup untuk bisa menjamin programnya bisa berjalan. Ini bukan pekerjaan sebentar ketika memang kita dan pemerintah akan melakukan itu kita pada rapat kemarin sudah dirumuskan beberapa langkah-langkah strategis untuk bisa benar-benar melakukan penguatan bangunan yang menjamin fasilitas pendidikan itu aman terhadap bencana,” ujarnya.