
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Praktik diskriminasi terhadap kelompok rentan masih marak terjadi di berbagai lini kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi sorotan utama dalam forum Mainstreaming Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Media: Mengembangkan Jurnalisme Inklusif yang digelar oleh Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah di Aula SM Tower & Convention, Yogyakarta, Rabu (6/8/2025).
Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Program INKLUSI, Tri Hastuti Nur Rochimah, menyampaikan tindakan diskriminasi itu tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga dapat muncul dari kebijakan negara yang tidak berpihak kepada masyarakat. Bahkan menimpa siapa saja tanpa pandang bulu baik perempuan dan laki-laki dalam kondisi atau identitas tertentu.
“Diskriminasi masih terjadi terhadap identitas tertentu seperti agama, ras, warna kulit, status pernikahan, dan sebagainya,” ucapnya, Rabu (6/8/2025).
Berlatar belakang dari kondisi ini, PP ‘Aisyiyah menegaskan pentingnya keterlibatan media dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif, adil, dan setara Tri mengajak para jurnalis untuk bersinergi dalam menyuarakan isu-isu inklusivitas, terutama yang menyangkut kelompok-kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan perempuan.
Menurutnya, pendekatan GEDSI bukan hanya istilah teknis, melainkan pijakan fundamental dalam mengupayakan keadilan sosial yang menyeluruh.
“GEDSI merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan wujud nyata dari penghormatan, pemenuhan, serta perlindungan hak dan martabat manusia,” ungkapnya.
Media Diminta Kawal Keadilan Sosial Lewat Narasi
Forum ini merupakan bagian dari upaya PP ‘Aisyiyah untuk membangun kesadaran publik dan memperluas dukungan terhadap prinsip-prinsip GEDSI, terutama dalam sektor media. Dengan pendekatan kolaboratif, ‘Aisyiyah berharap jurnalis tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga agen perubahan sosial.
Tri menyoroti bagaimana pembangunan yang dilakukan pemerintah harus menjangkau semua kalangan tanpa terkecuali. Ia mengajak publik, terutama media, untuk mempertanyakan sejauh mana kebijakan yang ada benar-benar memberi manfaat secara merata.
Menurutnya, media memiliki peran strategis dalam mendorong perubahan sosial dan pengarusutamaan narasi GEDSI dalam kebijakan maupun kehidupan publik.
“Apakah kita, dengan identitas apa pun, mendapatkan manfaat dari program pembangunan pemerintah? Apakah kita memiliki kontrol terhadap lingkungan kita? Ini adalah pertanyaan penting yang harus terus kita suarakan demi menciptakan lingkungan yang adil, setara, inklusif, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Tri menyakini jurnalisme yang berperspektif GEDSI dapat membantu menciptakan ruang sosial yang lebih setara dan representatif, terutama bagi kelompok yang selama ini kurang mendapat tempat.
“Dalam ruang jurnalistik, kita menyuarakan yang tidak disuarakan dan membuka ruang agar semua kelompok dapat menyampaikan aspirasinya,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Jurnalis Senior Kompas, Sonya Hellen Sinombor membagikan pengalamannya mengenai pentingnya pendekatan GEDSI dalam jurnalisme. Ia menekankan bahwa kerja jurnalistik seharusnya tidak hanya fokus pada penyajian informasi, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan keadilan sosial melalui narasi yang membela kelompok marjinal.
Menurut Sonya, jurnalis perlu lebih sensitif terhadap bagaimana kelompok perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama, maupun masyarakat adat diberitakan di media. Penggunaan bahasa, pemilihan narasumber, hingga sudut pandang berita harus mencerminkan prinsip inklusivitas dan kesetaraan.
“Kita harus pelajari itu semua terutama dalam memproduksi karya-karya jurnalistik yang bebas dari stereotip, bias, serta memiliki perspektif keadilan sosial,” kata Sonya.